JAKARTA, Beritabenua-Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, rencana tersebut memicu kritik tajam, terutama dari masyarakat kecil yang sudah menghadapi tekanan ekonomi akibat tingginya biaya kebutuhan pokok. Banyak pihak menilai langkah ini akan menjadi beban tambahan yang memberatkan rumah tangga berpenghasilan rendah.
Menurut laporan terbaru dari Center of Economic and Law Studies (Celios), dampak kenaikan ini terhadap rumah tangga miskin tidak dapat diabaikan.
Rata-rata, rumah tangga miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan atau sekitar Rp1.222.566 per tahun. Dampaknya, mereka mungkin harus mengurangi tabungan atau menurunkan kualitas konsumsi barang-barang pokok.
Hal serupa juga diperkirakan akan dialami oleh kelompok rentan miskin, yang menghadapi peningkatan pengeluaran hingga Rp153.871 per bulan atau Rp1.846.455 per tahun. Bahkan rumah tangga kelas menengah pun tidak luput dari tekanan, dengan tambahan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan atau Rp4.251.522 per tahun. Kenaikan ini dikhawatirkan memaksa masyarakat mengurangi investasi pada kebutuhan penting seperti pendidikan dan kesehatan.
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan memperbesar ketimpangan ekonomi karena sifatnya yang regresif.
"PPN bersifat regresif karena beban pajak ini tidak mempertimbangkan tingkat pendapatan konsumen. Akibatnya, masyarakat miskin dan menengah akan terkena dampak yang lebih berat dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi," jelasnya. Dikutip ahad (30/12/2024).
Pemerintah mengklaim bahwa pendapatan tambahan dari kenaikan PPN akan digunakan untuk program sosial dan infrastruktur.
Namun, banyak pihak meragukan transparansi penggunaan dana tersebut, terutama mengingat sebagian besar penerimaan pajak akan digunakan untuk membayar bunga utang pemerintah.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil di tengah situasi ekonomi yang sulit.
Tanpa upaya mitigasi yang jelas, kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk kesejahteraan masyarakat rentan dan memperlebar jurang ketimpangan sosial.