OPINI, Beritabenua.com - Sebagai seorang yang memperhatikan dinamika ketenagakerjaan di sektor pemerintahan, saya melihat bahwa dilema yang dihadapi tenaga honorer saat ini sangat kompleks dan menyakitkan. Mereka adalah tulang punggung di berbagai sektor layanan publik, mulai dari pendidikan hingga kesehatan, namun sayangnya, pengabdian mereka selama bertahun-tahun sering kali tidak diimbangi dengan kepastian status kepegawaian dan kesejahteraan yang layak. Harapan besar untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tentu menyimpan asa baru, namun pada kenyataannya, jalan menuju status tersebut penuh dengan tantangan.
Salah satu dilema terbesar yang dihadapi oleh tenaga honorer adalah ketidakpastian. Meskipun mereka telah bekerja dalam waktu yang cukup lama, bahkan beberapa di antaranya lebih dari satu dekade, mereka tetap tidak mendapatkan jaminan kepastian sebagai pegawai tetap. Dr. Indra Wibowo, seorang pakar kebijakan publik, pernah mengemukakan bahwa "tenaga honorer selalu berada di posisi rentan, di mana pengabdian mereka tidak sejalan dengan kepastian status kepegawaian." Ini membuat saya berpikir bahwa tenaga honorer seolah-olah hanya diperlakukan sebagai tenaga kerja sementara, padahal kontribusi mereka sangat vital.
Harapan untuk diangkat menjadi P3K memang menggembirakan, tetapi realitanya proses seleksi tidak selalu mudah. Saya mendengar banyak cerita dari tenaga honorer yang merasa khawatir tidak lolos seleksi karena faktor usia, pendidikan, atau keterampilan yang dianggap tidak memenuhi syarat. Prof. Asep Supriadi, seorang ahli manajemen sumber daya manusia, menyoroti bahwa "seleksi P3K menuntut tenaga kerja untuk memiliki kompetensi yang memadai, tetapi tidak semua tenaga honorer senior memiliki kemampuan yang sesuai dengan standar modern." Ini menjadi tantangan besar bagi mereka yang telah lama bekerja, tetapi kurang mendapatkan pelatihan atau pembaruan keterampilan.
Dari segi kesejahteraan, saya merasa prihatin melihat betapa besar kesenjangan antara tenaga honorer dengan pegawai tetap, baik itu PNS maupun P3K. Gaji yang diterima tenaga honorer sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi jika dibandingkan dengan pegawai yang memiliki status tetap. Dr. Fahmi Idris, seorang ekonom, pernah menekankan bahwa "kesenjangan kesejahteraan ini harus segera diatasi, karena berpotensi menurunkan semangat dan kinerja tenaga honorer." Saya sangat setuju dengan pendapat ini. Bagaimana mungkin mereka bisa bekerja dengan tenang jika kesejahteraan mereka terus-menerus terabaikan?
Namun, persoalan tidak berhenti pada kesejahteraan. Ada juga masalah tentang kesiapan tenaga honorer dalam menghadapi era digital. Banyak tenaga honorer yang sudah lama bekerja tetapi tidak mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang terus berubah. Yanuar Nugroho, seorang ahli kebijakan, menyebutkan bahwa "tanpa adanya pelatihan yang tepat, tenaga honorer akan sulit bersaing dalam seleksi P3K." Menurut saya, ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya menuntut kompetensi, tetapi juga memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan yang dibutuhkan.
Tidak bisa dipungkiri, pemerintah juga menghadapi dilema dalam hal anggaran. Mengangkat seluruh tenaga honorer menjadi P3K tentu membutuhkan biaya yang besar. Saya memahami kekhawatiran pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa pengangkatan ini harus memperhitungkan beban anggaran. Namun, saya juga percaya bahwa masalah kesejahteraan tenaga honorer tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ada keseimbangan yang perlu dicapai antara kemampuan anggaran negara dan keadilan bagi mereka yang telah mengabdi selama bertahun-tahun.
Sering kali, saya mendengar keluhan dari tenaga honorer yang merasa tidak diperlakukan adil dalam proses seleksi P3K. Mereka merasa bahwa seleksi tersebut tidak selalu transparan dan terkadang hanya memperhitungkan aspek formalitas seperti ijazah, tanpa mempertimbangkan pengalaman kerja. Saya pribadi merasa bahwa pengalaman kerja yang panjang seharusnya menjadi salah satu kriteria penting dalam seleksi, karena tenaga honorer ini telah terbukti mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan selama bertahun-tahun.
Meskipun demikian, saya masih optimis bahwa proses ini dapat memberikan harapan baru bagi para tenaga honorer. Jika pemerintah mampu menyelenggarakan seleksi yang transparan dan adil, serta memberikan kesempatan bagi mereka yang telah lama mengabdi, saya yakin status P3K akan memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih baik. Dr. Bambang Arianto, seorang pakar kebijakan publik, pernah menyatakan bahwa "kebijakan P3K harus dirancang untuk menciptakan keadilan bagi tenaga honorer yang telah lama bekerja, bukan hanya untuk menambah angka pegawai." Saya sepenuhnya mendukung pendapat ini.
Pada akhirnya, saya berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan dilema ini dengan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan tenaga honorer, tanpa mengabaikan kemampuan anggaran negara. Tenaga honorer adalah aset berharga bagi negara, dan sudah sepatutnya mereka mendapatkan pengakuan atas pengabdian mereka. Proses seleksi yang adil, pelatihan yang memadai, dan kebijakan yang tepat adalah kunci untuk mengakhiri ketidakpastian yang selama ini mereka rasakan.