Pendahuluan
Pertumbuhan populasi penduduk perkotaan di seluruh dunia telah mengubah lanskap kota menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya yang penting. Seiring dengan perkembangan tersebut, tantangan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat semakin kompleks, membutuhkan solusi inovatif yang dapat mengintegrasikan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Suryandari, 2010).
Dalam konteks ini, urban farming muncul sebagai salah satu alternatif yang menarik untuk menjawab tantangan tersebut. Urban farming, yang merupakan praktik pertanian dan peternakan di dalam dan sekitar kota, memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi positif dalam menciptakan kota yang berkelanjutan. Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), urban farming menyumbang sekitar 15-20% dari pasokan pangan global, menunjukkan peran yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk perkotaan. Selain itu, survei yang dilakukan oleh RUAF Foundation menunjukkan bahwa adaptasi baru urban farming di beberapa kota besar seperti Hanoi, Shanghai, dan Accra menyediakan hingga 90% dari konsumsi sayuran segar, menegaskan peran vital urban farming dalam memastikan ketersediaan pangan lokal yang berkualitas (Veenhuizen dan Danso, 2007).
Adaptasi baru urban farming telah dilakukan di berbagai negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan kegiatan ini, khusunya di daerah Kota Bandung yang merupakan daerah yang paling berhasil dalam melakukan adaptasi baru urban farming (Setiawan, T., 2024).
Sebagai kota metropolitan yang berpenduduk 2,57 juta jiwa sekaligus sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat, Kota Bandung telah mengalami alih fungsi lahan secara masif. Lahan-lahan terbuka yang dulunya dipakai untuk pertanian, kini telah menjelma bangunan dan berbagai infrastruktur lainnya. Bersamaan dengan itu, kebutuhan pangan utama Kota Bandung seperti beras, daging, sayur, dan buah-buahan, kini menjadi sangat bergantung pada pasokan dari luar daerah. Oleh karena itu, kemandirian pangan menjadi hal yang mendesak di Kota Kembang (Haqi, M., 2023).
Salah satu pemberdayaan masyarakat yang diusung oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dispangtan) Kota Bandung yakni dengan menerapkan konsep pertanian urban farming sebagai solusi ketahanan pangan keluarga sekaligus pemanfaatan lahan kosong. Pemerintah Kota Bandung terus mendorong agar warga memanfaatkan lahan rumahnya lebih produktif. Salah satunya dengan memanfaatkannya lewat urban farming terintegrasi. Pemerintah Kota Bandung telah meresmikan program Buruan SAE (Sehat, Alami dan Ekonomis) dengan membuat beberapa lokasi percontohan. Hal ini tentu saja sangat dibutuhkan dukungan dari berbagai stake holder untuk dapat mensukseskan program tersebut, karena kesadaran masyarakat secara umum masih rendah terhadap program urban farming (Rumidatul, et.,al., 2022).
Kemandirian Pangan melalui Program Buruan SAE
Menanggapi masalah kerawanan pangan, Pemerintah Kota Bandung menghadirkan program inovasi pertanian perkotaan (urban farming) yang diberi nama “Buruan SAE”. Buruan SAE adalah program pengembangan inovatif dari konsep urban farming. Dalam Bahasa Sunda, buruan artinya halaman atau pekarangan. Sementara SAE adalah akronim dari Sehat, Alami, dan Ekonomis.
Dalam tata kelola pertanian perkotaan, istilah urban farming bukan hal yang baru. Namun, melalui Buruan SAE, praktik urban farming dibuat lebih integratif. Jika aktivitas urban farming pada umumnya berfokus pada berkebun sayur, Buruan SAE mengintegrasikan kegiatan pertanian dengan peternakan, perikanan, tanaman obat keluarga, buah-buahan, dan pengelolaan sampah menjadi pupuk organik (composting).
Konsep pertanian perkotaan terintegrasi dari Buruan SAE merupakan upaya untuk membangun sistem ketahanan pangan perkotaan yang berkelanjutan. Buruan SAE telah dimulai sejak tahun 2020, dan setiap tahunnya selalu ada penambahan kelompok baru di setiap kelurahan. Pada tahun 2022, sudah terdapat 335 kelompok yang tersebar di 151 kelurahan. Tujuannya tak lain adalah untuk mewujudkan kemandirian pangan.
“Minimal di setiap kelurahan di Kota Bandung sekarang sudah ada keterwakilan kelompok Buruan SAE. Tahun 2023 kembali terdapat 50 kelompok baru Buruan SAE yang dibentuk oleh DKPP Kota Bandung,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar, dalam wawancara pada Maret 2023.
Dalam pembentukan kelompok baru Buruan SAE, Pemerintah Kota Bandung melalui DKPP memberikan paket stimulan berupa peralatan urban farming untuk pengelolaan kompos, media tanam, bibit, benih, ayam petelur, dan benih ikan lele, yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung. Kelompok baru juga akan diberikan sosialisasi dan pendampingan. Untuk diketahui, DKPP memiliki pendamping dan penyuluh di setiap kecamatan di Kota Bandung (Haqi, M., 2023).
Dengan adanya program adaptasi baru urban farming Buruan Sae yang diinisiasi oleh Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung, yang ditujukan untuk menanggulangi permasalahan pangan yang ada di kota Bandung melalui pemanfaatan pekarangan atau lahan yang ada dengan berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan masyarakat sekitar. Adapun beberapa Buruan Sae yang telah melakukan adaptasi baru urban farming diantaranya: Buruan Sae Al Hidayah, Buruan Sae Gending Mas, dan Buruan Sae KWT Cigiringsing (Dinas Pangan dan Pertanian, 2021).
Kelebihan dan Kekurangan Kebijakan Program Urban Farming
Melalui adaptasi baru urban farming, diharapkan dapat meningkatkan aspek keberlanjutan seperti ketahanan pangan, pertanian yang berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, dan perlindungan lingkungan dapat terwujud. Adaptasi baru urban farming tidak hanya memberikan akses terhadap hasil pertanian segar bagi masyarakat lokal, tetapi juga mempromosikan praktik pertanian yang ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk organik.
Melalui promosi ketahanan pangan, pertanian yang berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, dan perlindungan lingkungan, kegiatan ini menjadi contoh nyata bagaimana tindakan masyarakat lokal dapat berdampak positif pada tujuan keberlanjutan global yang lebih luas, seperti Program Buruan Sae Gending Mas, KWT Cigiringsing, dan AlHidayah dirancang untuk melibatkan masyarakat lokal yang rentan, seperti petani kecil, perempuan, dan pemuda. Masyarakat di wilayah ini umumnya memiliki akses terbatas terhadap pangan yang bergizi dan layak. Dengan melibatkan mereka dalam adaptasi baru urban farming, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan akses terhadap pangan yang berkualitas.
Dari segi ekonomi, adaptasi baru urban farming diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat, terutama bagi petani kecil, perempuan, dan pemuda. Dengan meningkatkan produksi dan pemasaran hasil pertanian, diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian lokal dan mengurangi tingkat pengangguran. Dalam konteks lingkungan, penggunaan teknik pertanian organik yang ramah lingkungan menjadi fokus utama dalam kegiatan ini. Dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan, seperti pengelolaan limbah organik dan konservasi sumber daya alam, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi ekosistem lokal dan membantu dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan aspek-aspek fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam urban farming, diharapkan dapat menciptakan dampak yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal maupun lingkungan sekitar (Setiawan, T., 2024).
Meskipun memiliki potensi yang besar, urban farming juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang perlu diatasi. Keterbatasan lahan yang rentan terhadap konversi menjadi kawasan pemukiman atau komersial menjadi salah satu hambatan utama dalam pengembangan urban farming. Luas lahan urban farming yang semakin yang semakin menyusut karena pembangunan infrastruktur merupakan sebuah tantangan untuk urban farming (Indraprahasta, 2013). Selain itu, keterbatasan akses terhadap sumber daya tanah, air, dan dukungan keuangan dari pemerintah daerah juga menjadi tantangan dalam meningkatkan produktivitas urban farming. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mendukung urban farming yang dimana pemerintah daerah perlu memberikan dukungan yang lebih besar dalam hal akses terhadap sumber daya, pelatihan teknologi pertanian, dan pengembangan infrastruktur urban farming. Selain itu, kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta juga penting untuk mempromosikan urban farming sebagai solusi bagi ketahanan pangan dan penghidupan yang berkelanjutan bagi penduduk perkotaan (Gunawan et al., 2021).
Relevansi dan Prospek ke Depan
Permasalahan ekonomi merupakan permasalahan terbesar yang terjadi di setiap negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, permasalahan yang ada bukan hanya bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga bagaimana agar pertumbuhan ekonomi dapat merata di setiap pulau. Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata akan menyebabkan terjadinya ketimpangan laju pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia (Arsal, 2020), melalui kebijakan urban farming diharapkan mampu mengatasi permasalahan ekonomi di masyarakat. Urban Farming Bauran SAE memiliki potensi besar untuk menjadi model bagi kota-kota lain yang ingin mengembangkan pertanian urban. Dengan pengelolaan yang baik, kebijakan ini tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga menjadi katalisator perubahan lingkungan dan sosial yang lebih positif. Untuk mengatasi tantangan yang ada, diperlukan kolaborasi lebih erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, terutama dalam penyediaan teknologi dan pendanaan, agar program ini dapat berjalan secara optimal dan berkelanjutan. Seperti yang dikatakan Wakil Presiden RI ke-13, Ma’ruf Amin, dimana beliau memuji program Buruan SAE (Sehat, Alami, Ekonomis) yang tengah dimasifkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Wapres bahkan meminta agar daerah lain mengadopsi Buruan SAE Kota Bandung.
Kota Bandung, dengan kreativitas warganya, memiliki peluang besar untuk menjadikan Urban Farming Bauran SAE sebagai contoh sukses dalam mewujudkan kota yang hijau, sehat, dan mandiri secara pangan.
Referensi
Suryandari, R.Y. (2010). Pengembangan Pertanian Perkotaan Impian Mewujudkan Kota Yang Berkelanjutan. Universitas Esa Unggul Jakarta., Pengembangan Pertanian Perkotaan: Impian Mewujudkan Kota yang Berkelanjutan Volume 2, 106–112. Pada
https://media.neliti.com/media/publications/212980-pengembangan-pertanian-perkotaan impian.pdf
Veenhuizen, R. & van, Danso, G, (2007). Profitability and sustainability of urban and peri-urban agriculture.FOOD Agriculture Organ. U. N. Pada
https://ruaf.org/assets/2019/11/Profitability-and-Sustainability.pdf
Setiawan T, et.al. (2024). Pemenuhan Pangan Berkelanjutan melalui Pemanfaatan Lahan Pekarangan sebagai Adaptasi Baru Urban Farming di Kota Bandung. Jurnal Pengabdian Sosial. e-ISSN : 3031-0059. Volume 1, No.9 pada https://ejournal.jurnalpengabdiansosial.com/index.php/jps
Haqi, M. (2023). Buruan SAE: Inovasi Urban Farming di Bandung Dukung Kemandirian Pangan Kota.
Artikel https://greennetwork.id/komunitas/buruan-sae-inovasi-urban-farming-di-bandungdukung-kemandirian-pangan-kota/
Rumidatul, et.al. (2022). Membangun Ketahanan Pangan Melalui Urban Farming Terintegrasi.
Rekacipta ITB.
https://pengabdian.lppm.itb.ac.id/information/membangun_ketahanan_pangan_melalui_ur
Gunawan, T. Prasetyo, P.S. Tapran, T.M. Wafiroh, S.F. (2021). Bandung Kota Cerdas Pangan-
Membangun Sistem Pangan Kota yang Berkelanjutan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik –
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Pada https://fisip.unpar.ac.id/wpcontent/uploads/sites/33/2022/09/Bandung-Kota-Cerdas-Pangan-Membangun-Sistem-Ketahanan-
Pangan-Kota-yang-Berkelanjutan-Bilingual.pdf
Indraprahasta, Galuh Syahbana. (2013). The Potential of Urban Agriculture Development in Jakarta.
Procedia Environmental Sciences. 17. 11–19. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.proenv.2013.02.006
Arsal, A., Karim, I., Salman, D., Fahmid,I. M., Mahyudin, & Amiruddin, A. (2020). Social capital and maize farmers’ income. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 575 (1), 012101 https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/575/1/012101/pdf