OPINI, Beritabenua.com - Tepat 77 tahun yang lalu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) resmi berdiri pada Rabu 5 Februari 1947 pukul 16.00 wib, di ruangan kuliah STI Jalan Setyodiningrat, Jogjakarta. Kala itu, seorang mahasiswa meminta izin kepada Hussein Yahya, dosen tafsir Sekolah Tinggi Islam (STI) sekarang dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) Di depan teman-temannya.
Pemuda 25 tahun itu mengatakan hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Islam, karena semua persiapan dan perlengkapan semua beres. Siapa mau menerima berdirinya organisasi mahasiswa Islam ini, itu sajalah yang diajak, dan yang tidak setuju biarkanlah mereka terus menentang.
Maka, dalam kehangatan sinar mentari Bumi Panrita Kitta, Konferensi Cabang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Sinjai menjadi panggung yang memancarkan titik cerah baru bagi masa depan organisasi. Sebagai forum diskusi, perenungan, dan pemutusan kebijakan, Konfercab ini menjadi momen krusial yang menerangi arah perjalanan HMI Cabang Sinjai ke depan.
Momentum Konfercab saat ini perlu melahirkan pemimpin yang konsen pada perkaderan, karena pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang memikirkan bangsanya 10-20 tahun ke depan, jika perkaderan HMI menjadi prioritas dan dibenahi dengan baik maka akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa dan khususnya pemimpin di Bumi Panrita Kitta kedepannya.
Oleh sebab itu, ketika bicara ide yang terlintas dipikiran, yang pertama adalah nafas HMI atau jantung HMI yaitu perkaderan, HMI akan selalu ada jika perkaderan dirawat terus menerus bagaikan mata air, ini saya pikir sejalan dengan awal mula HMI didirikan dan menuju Indonesia emas harus dimulai dari HMI, apa PR kita? Yaitu secara kolektif memperbaiki kualitas perkaderan di HMI.
Terlepas dari semua kepentingan kelompok (secara politik praktis) arah dan aktivitas organisasi secara sosial harus berupa gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan tindakan kelompok informal yang berbentuk organisasi yang mengkampanyekan perubahan.
Sebagaimana HMI adalah organisasi pengkaderan, artinya HMI adalah wadah pencetak kader bangsa yang berkualitas, mempunyai sumbangsih yang nyata terhadap bangsanya, seimbang dan terpadu antara pemenuhan tugas duniawi dan ukhrawi.
HMI mencetak kader yang diperlukan bangsa. Maka, seharunya tradisi yang harus dikembangkan adalah: Tradisi membaca, tradisi berdiskusi dan tradisi meneliti. Jika tradisi ini tidak ada di HMI terkhusus di komisariat, maka saya sarankan untuk mencari organisasi selain HMI.
Kembali ke khittah adalah solusi bagi kader HMI untuk kembali mengabdi dan berkontribusi di kampus karena disitulah tempat kita dilahirkan, dan disitulah tempat kita mengasah peran-peran kepemimpinan.
HMI Untuk Masyarakat
HMI adalah komunitas intelektual, sebuah komunitas menuntut kita untuk belajar hidup bersama, bagaimana membangun komunikasi dengan orang lain, bagaimana kita saling menghargai satu dengan yang lain. Para kadernya akan disodorkan sebuah keberpihakan pada masyarakat yang akan mereka hadapi. Para kader akan belajar untuk memanajemen diri sendiri, mengatur orang lain (memimpin), mengelola sebuah komunitas, menyelenggarakan sebuah kegiatan dan sebagainya.
Sebab pada tujuannya HMI didirikan untuk masyarakat, begitu pula sebuah negara bahwa spirit sebuah bangsa dan negara dibangun untuk masyarakat. Sehingga posisi kita sebagai manusia intelektual sebagaimana yang dimaksud oleh Cak Nur sebagai intelektual freedom. Dan hal itu telah dijelaskan oleh Ali Syariati jauh hari bahwa kaum intelektual atau kaum tercerahkan tidak boleh dilepas pisahkan dari masyarakat.
Hal itu pula yang menjadi poin penting untuk kedepannya, sebab kita kehilangan arah, kita kehilangan orientasi. Seharusnya ruang publik yang diisi oleh kritisisme sebagaimana yang didalihkan oleh Habermas bahwa ruang publik harus diisi dan diwarnai oleh kritisisme dan mampu membawa perubahan di tengah masyarakat.
Fenomena Konflik HMI
Fenomena gerbong dan konflik tidak dapat terhindarkan, oleh karena itu HMI adalah sebuah tempat untuk mengatasi konflik dan memecahkan masalah secara bersama-sama. Ini adalah tempat kita mengkader diri, jika kita terjun langsung di tengah masyarakat kita akan kaget dengan realitas yang majemuk serta problem yang kompleks, kita sudah membekali diri dengan keterampilan untuk memecahkan masalah secara bijaksana.
Sebagai Insan cita, kita seyogyanya bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesama, ikut bertanggung jawab terciptanya lingkungan yang baik adil dan makmur.
Dengan kata lain kualitas insan cita adalah intelektual plus kesadaran, intelektual plus ketakwaan, dan intelektual plus kesolehan. Kualitas ini terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari dan melekat dalam setiap diri kader yang selanjutnya mengambil perannya dalam bidang masing-masing.
Besar harapan kualitas pengkaderan HMI harus dikembalikan kepada semangat dari para pendiri, sehingga kader-kader HMI benar-benar menjadi sang pembaharu yang mampu memecahkan problem umat, bukan menjadi trouble maker atau menjadi bagian dari problem bangsa ini
Saya menulis dengan persepktif yang baru dalam tulisan ini karena ketika kita melihat arah gerakan secara menyeluruh, realitas yang terangkum akan semakin luas. Kita dapat melakukan pendekatan holistik dan bukan semata diagnostik dalam memahami revitalisasi pemimpin serta gerakan perkaderan HMI sebagai bagian dari kekuatan bangsa, tentunya tidak berlebihan jika saya mengingatkan kembali apa yang dikatakan oleh Jenderal Sudirman, bahwa HMI adalah harapan masyarakat Indonesia.
Menjadi penggerak manusia, terutama kader HMI dalam seluruh ruang dan waktunya. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide perkaderan, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu.
Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan disekelilingnya. Hasil dari respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. Begitu seterusnya.
Terakhir, kita perlu mengingat ungkapan Sjahrir, pemuda kita pada umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu. yaitu berbaris, menerima perintah, menyerbu dan berjibaku. Tak pernah di ajarkan menjadi pemimpin.
Namun, harapan kita semua semoga lahir seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan pada Konferensi Cabang ke-II ini.
Yakinkan dengan Iman, Sampaikan dengan Ilmu serta Usahakan apa yang menjadi cita-cita kolektif sehingga menjadi amal jariyah di kehidupan kelak.
Penulis: Agusman (Kader HMI Sinjai)
*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penulis