OPINI, Beritabenua- Jauh sebelum istilah anjay dipopulerkan oleh anak muda yang mengaku sok modern, bahkan sebelum kata Covid-19 dirumuskan, tepat pada tahun 2014 silam. Sejumlah anak muda di Desa Turungan Baji, Kecamtan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, membangun suatu kelompok kecil dengan cita-cita yang sangat terhormat.
Mereka membangun kelompok untuk bisa bersama membangun kampung. Membuktikan pada negara bahwa anak muda benar-benar agen perubahan.
Di mana kelompok tersebut kini dikenal dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Turungan.
Komunitas tersebut berada di Desa Turungan Baji, di mana dulunya dikenal sebagai desa terpencil dan tertinggal dalam berbagai akses, baik infrastruktur, kesehatan, dan terutama pendidikan.
Sehingga tak banyak yang tahu, apalagi peduli. Padahal Desa Turungan Baji dulunya dikenal sebagai salah satu pusat peradaban tertua di Kabupaten Sinjai, bahkan dalam buku Hanua Sinjai karya Muhannis, disebutkan tentang Turungan merupakan kampung tertua di Sinjai.
Namun, sejarah bukan tentang siapa yang benar. Melainkan siapa yang menang dan menuliskannya. Terlepas dari itu, Desa Turungan Baji memang tak begitu banyak memiliki potensi sumber daya alam. Sehingga wajar bila diabaikan oleh pemerintah sebagai desa kecil yang mesti diprioritaskan dalam pembangunan daerah.
Akibat dari terisolirnya kampung tersebut, para pemuda berinisiatif menyuarakan aspirasnya lewat wadah TBM Turungan yang mereka bangun.
Bila berkunjung ke tempat mereka, dari jauh terlihat sebuah gubuk kecil di bawah pohon bambu yang rimbun, nampak hijau lantaran rumput tumbuh subur di bawahnya, tanaman liar ikut meramaikan suasanya sekitar yang secara langsung menyuguhkan udara segar. Sebuah sekretariat kecil berukuran dua kali tiga meter per-segi, muat untuk beberapa orang duduk menikmati kopi seraya membicarakan setiap polemik yang dialami masyarakat di wilayat itu.
TBM Turungan terbentuk dengan tujuan yang sangat mulia. Anak muda ingin merubah kampungnya menjadi sebuah desa yang maju dan sejahtera, sehingga berharap kelompok yang dibentuknya kelak bisa membuahkan hasil yang bermanfaat untuk masyarakat setempat.
Komunitas kecil tersebut ternyata benar-benar membentuk karakter anak muda, menjadi pribadi yang bertanggug jawab dan inovatif. Di mana lewat komunitas tersebut, anak muda yang sebelumnya hanya berjumlah beberapa orang, terus bertambah dan semakin ramai.
Aktivitas mereka juga perlahan berubah, dari tindakan negatif, bahkan kriminal, berubah jadi positif dan mulai berkarya.
Selain kreativitas, mereka juga mulai kritis. Nyaris setiap malam berkumpul di gubuk kecil itu, sambil berdiskusi tentang hal-hal yang menjadi masalah utama di kampung sehingga belum bisa maju, salah satunya akses infrastruktur jalan.
Menurut mereka, jalan adalah jantung ekonomi di kampung. Sehingga harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Erat kaitannya dengan pendidikan dan kesehatan, di mana fokus utama dalam setiap pendiskusian mereka tak pernah tertinggal soal pendidikan, menurut mereka, semua orang di kampung harus sekolah agar bisa kritis dan berjuang bersama.
Keresahan masyarakat terus ditampung dan didiskusikan bersama, kemudian gerakan mereka mulai memuncak di tahun 2016. Mereka menyuarakan perbaikan jalan di desanya dengan melakukan aksi demonstrasi secara rutin di kantor DPRD dan kantor Bupati Sinjai.
Selama berbulan-bulan mereka melakukan aski tersebut hingga akhirnya pada tahun 2020 silam, akhirnya jalanan mereka dikerja. Akses mereka untuk ke kota diperbaiki pemerintah daerah, walau tak rampung, tetapi perjuangan mereka yang didukung msayarakat setempat dan mahasiswa, benar-benar membuahkan hasil.
Infrastruktur mulai bisa diakses, mereka tak berhenti di situ. Tapi mereka juga menyuarakan hal lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, menurut mereka, pendidikan adalah kunci utama untuk maju. Sehingga mereka mendorong agar semua pemuda bisa berkolaborasi dalam membangun taman baca untuk memudahkan akses tehadap ilmu pengetahuan.
Karena mereka tak begitu percaya pada pemerintah, sehingga komunitas yang mereka bangun menjadi satu-satunya tumpuan untuk terus membangun di kampung.
Komunitas mereka terus berkembang, mulai dari buku bacaan yang terus mendapatkan bantuan dari berbagai sumber, alat-alat seperti komputer, kursi, dan kelengkapan lainnya. Semua sudah ada di komunitas kecil tersebut. Berkat usaha dan kerja keras anak muda, dibantu oleh mahasiswa dan didukung oleh masyarakat, yang belakangan juga sudah dapar respon positif dari pemerintah setempat. Sehingga angka purtus sekolah di kampung tersebut juga sudah menurun drastis, fasilitias kesehatan sudah memadai, dengan pendidikan yang dijamin oleh pemerintah setempat bagi warga kurang mampu.
Higga saat ini, komunitas tersebut masih aktif berdiskusi dengan fasilitas yang lengkap. Bahkan pengurus yang tidak sekolah sudah bisa dihitung jari, berkat semangat dan solidaritas dalam gerakan membangun kampung.