OPINI, Tahun pemilu 2024 menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia untuk membuat keputusan bijaksana dalam memilih wakil rakyat.
Pada hari Rabu 14 Februari Tahun 2024 yang bertepatan dengan Hari Valentine/Kasih Sayang, Indonesia akan menghadapi hajatan demokrasi.
Seluruh warga dan masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih mulai dari kota besar hingga pelosok kampung akan berbondong-bondong mendatangi bilik suara guna memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta para anggota legislatif (DPR RI, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) untuk periode 2024-2029.
Hari itu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menyebutnya sebagai “Hari Kasih Suara”.
Tentu saja dalam upaya untuk mendapatkan posisi dan kursi “empuk” tersebut para calon Kepala Negara yang “katanya” mewakili suara rakyat, keinginan kaum minoritas, menyuarakan kemauan kaum marginal akan melakukan segala cara untuk meraih tujuan-tujuan politiknya.
Rakyat didekati dan diminta untuk menggunakan hak politiknya. Hanya dalam hitungan detik, rakyat bermetamorfosis. Rakyat telah berubah menjadi “Tuan”, kewajiban sebagai rakyat diperlonggar dan hak dasar mereka dipenuhi.
Akan tetapi, semuanya terkadang bersifat sementara. Usai Pemilihan Umum dilakukan, rakyat kembali menjalani kehidupan sebagaimana hari-hari sebelumnya. Para petani kembali ke sawah, pedagang ke pasar, nelayan kembali melaut, pengamen berdiri di lampu merah, pemulung mencari lembaran-lembaran rupiah di tong sampah.
Kenikmatan hanya sesaat mereka rasakan, karena janji manis dari para calon Kepala Negara yang abai, lupa dan tidak menepati omongannya pada saat kampanye politik dan kini hanya duduk manis di gedung sana. Sungguh ironis bukan.
Tulisan ini hadir bukan untuk menagih program-program yang disuarakan dan disampaikan para calon Kepala Negara jikalau terpilih nanti. Akan tetapi tulisan sederhana yang telah sampai di tangan pembaca budiman, ingin menyampaikan bagaimana upaya para Calon Kepala Negara yang akan duduk di singgasana untuk menarik simpati dari masyarakat.
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh mereka dan partai politik pengusungnya seperti dengan money politik, menjanjikan jabatan, fasilitas memadai ataupun melakukan pendekatan secara masif kepada orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh besar dalam sebuah lingkungan misalnya selebritas/artis.
Selebritas ataukah selebritis merupakan seseorang yang kehidupannya akan selalu menjadi konsumsi publik. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kehadiran mereka dalam meramaikan dunia politik telah menarik perhatian banyak orang.
Popularitas dan ketenaran mereka dijadikan alasan partai-partai politik menggaet mereka untuk meraup suara massa demi memenangkan calon Kepala Negara yang mereka usung. Partai politik terlalu fokus pada aspek populer dan electability.
Kehadiran selebritas yang ikut serta dalam Pemilihan Umum ini tidak bisa dikategorikan sebagai tren yang baru. Keikutsertaan mereka dalam pemilu sudah lazim dan hal yang lumrah dalam pesta demokrasi sejak reformasi.
Kehadiran selebritas yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sebagai pendukung politik dapat meningkatkan partisipasi politik di kalangan kaum muda ataukah pemilih yang sebelumnya tidak terlalu tertarik dengan politik tradisional.
Kenapa demikian?
Hal ini disebabkan karena popularitas dan pengaruh mereka. Para selebritas seringkali mendapatkan sorotan yang besar dari media dan publik.
Pembaca yang budiman, siapa yang tidak kenal Band Slank, band yang dibentuk pada tanggal 26 Desember 1983 di Jakarta ini mendukung pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD di pertarungan Pilpres 2024.
Bahkan band yang memiliki penggemar dan pengikut fanatik dengan nama Slankers ini telah menyiapkan dan menciptakan lagu yang berjudul “Salam Metal. Menang Total”.
Popularitas mereka telah menjadi magic atukah kekuatan dalam proses politik di negeri ini. Tak hanya itu, popularitas selebritas adalah aset berharga dalam pemasaran kampanye politik.
Musisi yang bergabung dalam lingkaran politik dan sebagai tim pemenangan Capres dan Wapres dapat mengubah fans mereka menjadi pemilih dan merupakan konsekuensi logis dari popularitasnya (Public Figure).
Tentu saja ini menjadi angin segar bagi para paslon. Pakar Komunikasi yang juga Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya, Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo melihat musisi dan lagu yang diciptakan untuk berkampanye dapat berperan sebagai penarik massa untuk berpartisipasi dalam aktivitas pasangan capres-cawapres. Apalagi, tak jarang masyarakat menghadiri kampanye justru hanya untuk menyaksikan idolanya.
Dengan kata lain, hadirnya selebritas sebagai pendukung politik dapat memberikan keuntungan elektoral dengan menarik lebih banyak dukungan dan perhatian dari fans mereka.
Hasilnya, terjadi gerakan mobilisasi massa penggemar yang berpengaruh besar untuk mendukung partai pengusung paslon dan agenda politik partai. Terakhir, mari kita tunggu efek para selebritas/selebriti yang mendukung paslon Capres-Cawapres pada Pilpres 2024.
Apakah mereka menjadi penggerak politik dan berperan optimal dalam hal memobilisasi pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024?. Patut dan layak untuk ditunggu.
Penulis: Akbar G (Panitia Pemungutan Suara Desa Tabbinjai Tahun 2024)
*Artikel tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.